Maudy Ayunda, Zahra dan Bonus Demografi
Belum lama ini, linimasa media sosial dibanjiri wajah cantik Maudy Ayunda. Artis multitalenta ini baru saja menyelesaikan gelar masternya di kampus ternama dunia, Stanford University. Dia ingat betul bagaimana dia tidak bisa mengambil keputusan ketika memilih antara Stanford atau Harvard untuk gelar masternya. Sebelumnya, ia melamar gelar sarjana dari Universitas Oxford tanpa kebingungan, dan kemudian lulus dengan predikat cum laude.
Kesuksesan Maudy dalam menyelesaikan pendidikannya di universitas terkemuka dunia
begitu menginspirasi sehingga banyak orang membicarakannya di dunia maya dan di dunia nyata. Dengan pendidikan yang berkualitas tinggi, jelas Maudy memiliki masa depan yang cerah. Diyakini bahwa dia akan pergi jauh menuju kemajuan bangsa ini.
Sayangnya, apa yang diraih Maudy Ayunda bagi sebagian perempuan Indonesia seusianya hanyalah sebuah harapan kosong. Pasalnya, masih banyak perempuan muda di negeri ini yang berjuang untuk tidak meraih predikat cum laude di universitas-universitas terpenting di dunia. Sebaliknya, ini “hanya” tentang tidak langsung menikahi orang tua agar mereka dapat terus berpartisipasi dalam pendidikan. Kurang lebih seperti yang diperankan oleh kehidupan Zahra, wanita ketiga dalam sinetron Suara Hati Istri yang juga banyak menuai kontroversi karena sang aktor masih anak-anak.
Zahra adalah potret sebagian besar remaja putri di Indonesia yang masih terjerat masalah pernikahan anak.
Menurut laporan UNICEF bersama BPS, Bappenas, dan PUSKAPA, setiap gadis kesembilan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun pada 2018. Itu berarti lebih dari 1,2 juta orang. Angka tersebut bukanlah angka yang sedikit, sehingga tidak heran jika Indonesia masuk dalam daftar 10 negara dengan jumlah absolut perkawinan anak tertinggi di dunia.
Bisa dibayangkan bahwa seorang anak yang seharusnya bersekolah untuk mencapai impiannya mungkin terpaksa dibatasi oleh kehidupan rumah tangga. Akibatnya, seperti yang ditunjukkan oleh hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), perempuan tersebut lebih cenderung bekerja di sektor informal dan karenanya lebih rentan daripada perempuan yang menikah setelah 18 tahun dan memiliki pekerjaan yang layak.
Belum lagi jika dikaitkan dengan aspek kesehatan. Hanya sekitar 22 persen anak perempuan yang menikah di usia sekolah yang memiliki akses ke fasilitas kesehatan selama kehamilan dan persalinan. Hamil di usia yang terlalu muda, persalinannya juga tidak ditolong oleh tenaga kesehatan. Hal ini menyebabkan masalah rumit lainnya: angka kematian ibu (AKI).
(MDGs) tahun 2015. Sebagaimana diketahui, MDGs 2015 bertujuan untuk menurunkan angka AKI hingga tiga perempat dibandingkan tahun 1990 dan mengacu pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang berarti sekitar 110 orang per 100.000 kelahiran hidup. Indonesia hanya secara perlahan mampu menurunkan angka kematian ibu pada tahun 2015 menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.
Menurut data terakhir Bank Dunia tahun 2017, Indonesia berhasil menurunkan AKI menjadi 177 per 100.000 kelahiran hidup. Namun angka tersebut masih jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs) sebesar 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030.
Jendela kesempatan
Padahal, penduduk Indonesia saat ini didominasi oleh anak muda seusia Maudy Ayunda dan Zahra. Hasil survei kependudukan tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia sudah berada pada top of the time window yang bisa menjadi bonus demografi. Pasalnya, jumlah penduduk usia produktif 15-64 tahun telah mencapai lebih dari 70 persen penduduk Indonesia atau sekitar 191 juta jiwa. Dan lebih dari separuh total penduduk Indonesia adalah Gen-Z dan Milenial.
Pengalaman negara-negara yang menerima bonus demografi, tingkat pertumbuhan ekonominya di atas 7-8%, bahkan mencapai dua digit selama periode peluang. Hal ini diperlukan karena pekerja usia produktif memiliki pendidikan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia industri. Kaum muda mendapatkan pekerjaan yang layak dan menjadi mesin perekonomian.
Misalnya Korea Selatan yang tonggak kemerdekaannya hanya tinggal dua hari lagi dari Indonesia. Pada 1950-an, Korea Selatan dan Indonesia sama-sama negara miskin. Namun, kemampuan mereka untuk menangani jendela waktu untuk peningkatan populasi yang produktif memungkinkan mereka untuk menikmati bonus demografi yang lezat. Alhasil, teknologi Korea Selatan tidak kalah matang dari negara maju seperti Eropa dan Ve
Baca juga :
nac.co.id
futsalin.id
evitdermaclinic.id
kabarsultengbangkit.id
journal-litbang-rekarta.co.id
jadwalxxi.id
gramatic.id
tementravel.id
cinemags.id
streamingdrama.id
snapcard.id
katakan.id
cpdev.id